Bahagialah,BE Happy yuk!
Bahagialah,BE Happy yuk!
(paradigma Baru Psikologi:Studi Kritis Psikologi Positif oleh Maman Suryadi)
By : KIKI
To : AMBAR
Dale carriage bercerita (Rakhmat, 2000) dalam salah satu bukunya, ia menceritakan seorang pengusaha di Amerika Serikat yang bangkrut. Ia putus asa dan akan pulang ke kampung halamannya. Saat ia berjalan di pinggir jalan, tepatnya ketika akan menyebrang jalan, ia berpapasan dengan orang buntung kakinya yang memakai kursi roda. “Lihat betapa indah pagi ini!” kata orang buntung itu. Dengan ragu ia menjawab, “Ya.” Ia terdiam, lalu berpikir, “Kenapa saya harus berputus asa hanya karena dagangan saya bangkrut. Ia yang tidak mempunyai kaki saja bisa memandang pagi ini dengan indah.” Akhirnya ia tidak jadi pulang. Ia kembali ke bank untuk memohon kredit. Ia bekerja keras dan akhirnya kembali menjadi chief executive officer. Ia memasang satu tulisan di kamarnya, sajaknya sendiri.
I was blues
Because I had no shoes
Until off on the street
I met man without feet
Aku melihat dunia ini kelabu
Karena aku tak mempunyai sepatu (uang)
Sampai di pinggir jalan
Aku bertemu dengan orang tanpa kaki
Cerita tersebut sebenarnya ingin menjelaskan kepada kita bahwa dalam musibah yang dialami selalu dibarengi dengan penderitaan. Musibah, menurut para filsuf (Rakhmat, 2004), adalah realitas objektif. Penderitaan adalah realitas subjektif. Musibah adalah dunia di luar diri kita. Penderitaan adalah picture in our head (persepsi yang ada di kepala kita). Pengusaha dalam cerita tersebut merasakan kepedihan dalam hatinya karena kehilangan uangnya (bangkrut, ini yang namanya musibah). Ia menderita. Kepedihannya segera hilang, kerika ia menyaksikan orang yang sudah kehilangan kedua kakinya dan tidak menderita. Apa yang telah berubah pada pengusaha itu? Yang berubah adalah perasaannya pada musibah yang dialaminya. Sekali lagi, saya ingin menegaskan bahwa musibah itu objektif, tetapi penderitaan subjektif.
Musibah merupakan ujian yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Berat tidaknya ujian atau musibah itu tergantung pada upaya kita melihatnya secara bijak, singkatnya tergantung paradigma yang kita miliki. Dalam suatu hadist kita tahu bahwa, “Allah SWT tidak akan merubah suatu kaum, jika kaum itu tidak merubah atau berusaha sendiri.”
Teramat sering kita bila mendapat musibah kemudian menyalahkan Allah. Kita terlalu banyak berharap banyak kepada Allah agar mendapat kemudahan dan nikmat, dan sudah sepantasnya pula kita mendapat banyak kecewa. Terlalu banyak pemberian Allah kepada hamba-hambanya. Dan begitu pula kita, terlalu banyak untuk tidak bijak melihat ujian Allah berupa musibah.
Ada benarnya pernyataan Khalil Gibran, seorang filsuf dan ungkapan ini dikutip oleh salah seorang presiden Amerika Serikat – John F. Kennedy. Di sini sedikit digubah, dinyatakan bahwa, “Jangan tanyakan apa yang diberikan Tuhan kepadamu , tapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk Tuhan.”
Bahagia Adalah Perintah Agama
Sebagai manusia kita dihadapkan pada pilihan, diantaranya pilihan bahagia dan derita. Sebagai Muslim kita diperintahkan oleh Allah untuk memilih bahagia. Terdapat banyak ayat yang menunjukkan ini. Berikut diantaranya:
Bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu berbahagia (2:189)
Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah, saling menyabarkan, dan perkuat persatuanmu supaya kamu berbahagia (3: 130)
Kenanglah anugerah-anugerah Allah, supaya kamu berbahagia (7: 69)
Apabila selesai sholat, menyebarlah di muka bumi. Cari anugerah Allah dan ingatlah Allah
yang banyak supaya kamu berbahagia(62:10)
Dan Nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa membahagiakan seorang mukmin, ia telah membahagiakan aku. Barang siapa membahagiakan aku, ia telah membahagiakan Allah.” Dalam hadist tersebut kita tidak disuruh membahagiakan orang lain. Nabi saw menyuruh kita membahagiakan mukmin. Dan mukmin yang paling dekat dengan kita adalah diri kita sendiri. Untuk beramal soleh, Nabi saw mengaskan prinsip “Ibda’ bi nafsik,” – Mulailah dari dirimu sendiri.
Dalam doa pun Nabi saw (al-Qoqrni, 2005) mencontohkan doa yang isinya pengharapan agar kita bahagia, ‘Rabbana Attina Fiddunya Khasanah Wafil Akhiratikhasanah Waqina Ajabannar.’ Ya Allah bahagiakanlah diriku di dunia dan di akhirat serta jauhkan diriku dari api neraka.
Kesenangan dan Kebahagiaan
Karena kesenangan itu bagian tak terpisahkan dari kebahagian, maka kita harus dapat membedakan keduanya. “ Keswenangan,” kata E. Rosental dalam The Emotional Revolution (Ibid), “ adalah pengalaman sekilas, betapa banyak orang yang tertawa terbahak-bahak untuk menyembunykan kemelut hatinya. Betapa banyaknya orang yang merasa menyimpanluka yang parah dalam hatinya. Kebahagiaan adalah keadaan yag berlangsung lebih lama, yang berhubungan dengan penikaian kehidupan secata keseluruhan. Orang bahagia mengalami kesenangan dalam kehidupannya sehari-hari.”
Menurut Rakhmat (2004) bahagia adalah kita mengalami kesenangan permanen, terus-menerus atau kesenangan dalam rentang waktu yang panjang, tetapi orang yang sedang menikmati kesengangan belum tentu bahagia. Orang senang menikmati kesenanganya sementara waktu saja.
Kebahagiaan hanya dimiliki oleh manusia, sedangkan pada binatang seperti tikus dan monyet tidak. Kesenangan dapat diamati secara fisik pada kegiatan otak, arus neourotransmeter. Kita dapat menikmati kesenangan dengan merangsang salah satu bagian otak yang disebut “pusat kesenangan” (pleasure center). Kesenangan dapat ditimbulkan dengan rangsangan elektrik pada hipotalamus; tetapi kebahagiaan tidak. Binatang – seperti tikus dan monyet – dapat merasakn kesenangan, tetapi tidak akan pernah mengalami kebahagiaan. Stimulasi diri elektrik pada hypothalamus mengaktifkan saluran yang mengeluarkan dipanin; yaitu, sejenis zat kimia yang dikeluarkan neuron untuk menimbulkan rasa senang atau enak seperti menimbulkan selera makan atau seks.
Keberuntungan dan Kebahagiaan
Masih menurut Rakhmat dalam bukunya: Meraih Kebahagiaan, ditergaskan bahwa tidak semua negative life event (masalah atau musibah) menimbulkan derita. Musibah dapat saja diterima sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan – seperti penderitaan – bersifat subjektif. Sebuah negative life event- seperti kehilangan boss – menimbulkan kebahagian bagi Ali dan penderitaan bagi Ani. Sebaliknya, sebuah positive life event – disebut sebagai keberuntungan – bisa membuat sebagian bahagia dan sebagian yang lain menderita. Salah satu contoh keberuntungan adalah sukses. Kita sering mengira bahwa sukses menybabkan kebahagiaan. Dr. Paul Pearsall, dalam penelitiannya selama bertahun-tahun menemukan orang yang justru menderita setelah sukses. Ia membedakan antara sukses yang beracun, toxic success, dan yang manis, sweet success.
Ketika menyaksikan wawancara dengan Inul pada televisi di rumah makan Padang. Inul, dengan nada kepolosan anak desa yang masih tersisa, mengusap air matanya. Ia merindukan berkumpul dengan orang tuanya, menikmati nasi dengan temped an tahu goreng. Ia merasa suksesnya dalam “ngebor” telah melukai hatinya. Untuk memuaskan penontonnya, ia pernah menahan rasa sakit yang teramat pedih pada kakunya. Disitu, di atas panggung ia berputar-putar dengan gembiranya; padahal jauh dalam lubuk hatinya, ia menangis pilu. Ia merasa sudah tidak mampu lagi melakukan apa yang ia inginkan. Ia harus tunduk pada keinginan penontonnya,. Jadwalnya begitu padat, sehingga ia tidak punya banyak waktu untuk dirinya sendiri,. Singkatnya, Inul mengalami yang kita sebut sebagai toxic success.
Di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri siapa saja yang mengalami toxic success atau kita dapat menamainya Sindrom Sukses Toksik (SST):
Self – sightedness atau inattentive blindess, terpusat paa diri. Begitu keasyikan dengan apa yang dipikirkan, sehingga tidak dapat melihat dan meraskan kebutuhan orang lain.
Stress surrender, menyrah pada stress. Penderita SST tidak lagi dapat memilih prilaku yang dikehendaki. Ia jatuh dalam pusaran sistem. Semuanya harus ikut arus. “Memang zamannya sudah begitu,” kata salah seorang yang sukses. “ Kita tidak bisa melepaskan diri dari sistem. Kalau kita melawannya kita kan tergilas.”
Ups and downs, naik turunnya perasaan. Perasaan mereka naik turun. Sekali waktu mereka bergerak dengan semangat yang mengebu-gebu, dan paa waktu yang lain merasa kehilangan tenaga sama sekali. Di tempat kerja mereka mencurahkan seluruh perhatiannya; tubuh mereka pulang ke rumah, tetapi jiwanya tidak.
Chronic cunicism, sinisme kronis. Mereka senang mengkritik, menyalahkan, dan memusuhi hampir semua orang.
Grouchiness, kerjanya bersungut-sungut melulu. Mereka tidak mampu, atau tidak bersedia, atau tidak mau menikmati hal-hal kecil dalam kehidupan. Sekedar contoh, kita pernah mendengar bagaomana seorang bintang pelahar diceritakan kawannya “Ia memang pintar, jenius, tetapi dia bukan kawan yang enak diajak bicara. Ia hanya memikirkan bagaimana menjadi orang nomor satu di kelasnya”
Feeling pestred, merasa terganggu, atau mudah tersinggung, kalau ada orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan perhatiannya.
Polyphasia, “multi tasking”, mengerjakan banyak tugas pada waktu yang sama.
Wearsiness, kelelahan tanpa henti, pola tidur yang terganggung, dan mengantuk ketika sedang duduk.
Chrono-Currency, memandang waktu sebagai uang dan setiap waktu yang tidak menghasilkan uang dianggap pemborosan secara ekstrim.
Relationship-Exploitation, mengabaikan, tidak menghiraukan, dan melecehkan hubungan kita yang paling intim dengan sekedar menggunakannya untuk perlindungan sesaat dari stress.
Spiritual Deficit Disorder (DDC), perasaan kekosongan rohaniah dan kehilangan makna, yang sering kali diikuti dengan saat-saat kerinduan spiritual dan keinginan untuk mepertanyakan “makna semuanya.”
Inhibited Power kMotive (IPM), keinginan yang tinggi untuk kerkuasa (dalam terminologi sosial rekayasa sosial ini disebut sebagai need for power), frustasi karena tidak punya vukup kekuasaan dan kendali, serta menurunnya tingkat kesadaran dan pengabaian akan kebutuhan kasih saying.
Self Health and Help. Perhatian pada olahraga, diet, seminar-seminar unutk meningkatkan kepribadian, dan berbagai tekhnik mengurangi stress yang mudah dan cepat. Untuk “mengelola” dan bukan untuk “mengatasi” stress.
Untuk mengatasi racun sukses dan menikmati sukses manis Dr Paul Pearsall menawarkan resep 3C : Contentment, Calm, Connection. Bisa diterjemahkan menjadi 3 K : kepuasan, ketenangan, ketersambungan.
Kepuasan artinya perasaan cukup dengan yang sudah kita peroleh. Penderita SST tidak pernah merasa puas. Mereka ingin memperoleh yang lebih dari apa yang mereka punyai sekarang. Mereka hanya dapat disembuhkan bila belajar menyukai apa yang mereka sukai sekarang. “”Kepuasan,” kata David Mayers, penulis buku The Pursuit of Happyness, “bukanlah memperoleh apa yang kamu inginkan tetapi menginginkan apa yang kamu peroleh.” Dan itu memerlukan latihan dan pembiasaan.
Nabi Muhammada saw bersabda, “Jika kamu berada dalam keadaan tubuh yang sehat, keamanan terjaga, dan ada makanan untuk hari itu, kamu sudah memiliki semua dunia.” (H.R Ibnu Majah, kitab zuhd). Ucapan Nabi saw itu bukan saja bergema pada para pendiri agama lainnya, tetapi juga ucapan para filsuf dan hasil-hasil penelitian ilmiah.
Ketenangan berarti memperlambat tempo hidup kita. Kalau kehidupan seperti film, kita harus menset kehidupan dalam slow motion. “sekarang ini,” kata M.J Ryan, “tampaknya kita menghabiskan umur kita untuk terburu-buru. Kita selalu bergerak, dan kita menginginkan agar semua hal dan semua orang di sekitar kita bergerak lebih cepat. . . Penulis James Gleick mengatakannya dengan lebih jelas – kita semua menderita hurry sickness – penyakit terburu-buru. Kita mencari modem yang memungkinkan kita mengklik iformasi dengan cepat, belajar dengan cepat, dan bercinta dengan cepat. Kawan saya – kata Rakhmat – di Jakarta pernah menawarkan kepada saya kiat untuk berjumpa dengan Tuhan dalam waktu yang cepat.
Kata lain untuk penyakit ingin serba cepat ini dalah tidak sabaran (impantience). Inilah sumber dari segala tidakan kekerasan, kegelisahan, kemarahan, serta teman-teman lainnya dalam kelompok gangguan psikologi, ditambah dengan kelompok penyakit jasmaniah lainnya.
Selanjutnya, kita akan membahas ketersambungan. Ketersambungan bukanlah sesuatu yang harus kita cari. Kita telah dicipatakan Tuhan untuk tidak bisa hidup dalam kesendirian. Kita hanya akan bahagia bila kita menyambungkan diri kita dengan orang lain. Kita sudah punya ketersambungan, tetapi semangat kita untuk meraih sukses seringh melemahkannya. Apa yang haris kita lakukan sekarang
Label: mix
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda